Problema Muslimah di Bulan Ramadhan Bagian 1
Belum Mengqadha Hutang Puasa Hingga Datang Ramadhan Berikutnya
Ramadhan adalah bulan yang paling dirindu kedatangannya oleh seluruh
kaum muslimin. Betapa tidak? Pada bulan Ramadhan segala amal ibadah
mendapat ganjaran yang berlipat-lipat ganda dan hanya pada bulan
Ramadhan sajalah kita dapat menemui malam yang lebih baik dari seribu
bulan, yang apabila seseorang melakukan amal shalih karena Allah ta’ala
semata pada saat itu, maka pahala yang didapatnya itu lebih baik dari
usaha yang dilakukannya selama seribu bulan. Maka sudah sepantasnya,
banyak kaum muslimin yang semakin besar semangatnya untuk beramal
shalih pada bulan ini.
Kaum wanita pun tidak kalah semangat untuk menabung pahala, akan
tetapi kaum wanita memiliki fitrah yang tidak dapat dielakkan, namun
memerlukan perhatian khusus. Dan tidak sedikit kaum wanita yang masih
bingung ketika dihadapkan dengan masalah-masalah kewanitaan, khususnya
pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Berikut beberapa masalah yang
sering ditemui oleh wanita berikut solusinya.
Masalah 1:
Wanita Memiliki Utang Puasa, Tetapi Belum Mengqadhanya Hingga Datang Ramadhan Berikutnya
Dalam hal ini, terdapat tiga kemungkinan, yaitu:
Pertama: Keadaan wanita tersebut tidak memungkinkan
untuk segera mengqadha puasanya pada Ramadhan yang lalu hingga datang
Ramadhan berikutnya, misal: karena alasan sakit.
Dalam masalah ini, terdapat dua kondisi, yaitu:
Kondisi 1: Apabila wanita tersebut meninggalkan kewajiban
puasa dan menunda qadha puasanya karena ketidak mampuannya, maka wajib
baginya untuk mengqadha hari-hari yang ditinggalkannya itu saat dia
telah memiliki kemampuan untuk mengqadhanya. Hal ini berdasarkan firman
Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah: 185)
Kondisi 2: Apabila ketidak mampuan wanita tersebut untuk
melaksanakan puasa bersifat permanen, yakni tidak bisa hilang (sembuh)
menurut keterangan ahli medis dan dikhawatirkan bahwa puasanya itu akan
membahayakan dirinya, maka wanita tersebut harus memberi makan orang
miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya itu sebanyak setengah sha’
(sekitar 1,5 kg) makanan pokok di daerahnya. Hal ini berdasarkan firman
Allah ta’ala yang artinya,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin.” (Qs. Al-Baqarah: 184)
Ketentuan ini juga berlaku bagi wanita yang meninggal karena sakit,
sementara dirinya masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Maka
keluarganya hanya diwajibkan untuk mengeluarkan fidyah sebanyak hari
yang ditinggalkan oleh wanita tersebut. [Lihat penjelasan Ibnu Qayyim
dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin (III/554) dan tambahan keterangannya di Tahdziibus Sunnan Abi Dawud (III/279-282)]
Kedua: Wanita tersebut dengan sengaja mengulur-ulur waktu untuk mengqadha utang puasanya hingga datang Ramadhan berikutnya.
Dalam masalah kedua ini, wanita tersebut harus bertaubat kepada Allah ta’ala
dikarenakan kelalaiannya atas suatu ketetapan Allah. Selain itu, dia
juga harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Karena
menunda-nunda pelaksanaan qadha tanpa ada udzur syar’i adalah suatu
maksiat, maka bertaubat kepada Allah merupakan suatu kewajiban.
Kemudian, wanita tersebut harus segera mengqadha puasanya setelah bulan
Ramadhan berikutnya. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu…” (Qs. Ali ‘Imran: 133)
Ketiga: Wanita tersebut tidak mengetahui kewajiban
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, karena minimnya ilmu agama, dan
atau tidak mengetahui secara pasti jumlah hari yang ditinggalkannya
selama bulan Ramadhan yang lalu.
Dalam masalah ketiga, seorang wanita dinyatakan mukallaf
(terkena beban ketentuan syari’at) dengan beberapa syarat, yaitu: (1)
beragama Islam, (2) berakal, (3) telah baligh. Dan balighnya seorang
wanita ditandai dengan datangnya haidh, tumbuhnya bulu di daerah
sekitar kemaluan, keluarnya mani, atau telah memasuki usia 15 tahun.
Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka kewajiban untuk
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan telah jatuh kepadanya, dan dia
juga berkewajiban untuk melaksanakan qadha puasa sejumlah hari yang
ditinggalkannya.
Namun, apabila wanita tersebut tidak mengetahui hukum-hukum yang
ditetapkan oleh syari’at -bukan karena dia tidak ingin atau malas
mencari tahu, akan tetapi karena sebab lain yang sifatnya alami, misal
karena dia tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari para ahli ilmu-
maka tidak ada dosa baginya meninggalkan puasa pada tahun-tahun dimana
dia masih dalam keadaan jahil (tidak tahu) terhadap ketentuan
syari’at. Kemudian, apabila dia telah mengetahuinya, maka wajib baginya
untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, dan hendaknya dia
mengqadha puasa yang ditinggalkannya sewaktu dia masih dalam keadaan
tidak tahu, agar dapat terlepas dari dosanya. [Lihat Fataawa Nur 'ala ad-Darb, Syaikh Utsaimin, hal. 65-66 dan Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (I/227-228)]
Adapun apabila wanita tersebut ragu akan jumlah hari yang ditinggalkannya, maka dia dapat memperkirakannya, karena Allah ta’ala tidak membebani seseorang diluar kesanggupannya. Allah berfirman yang artinya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Dan firman Allah yang artinya,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (Qs. At-Taghaabun: 16)
Catatan:
Mengqadha puasa tidak wajib dilakukan secara berturut-turut dan
tidak mengapa apabila seorang wanita tidak langsung mengqadha puasanya
setelah bulan Ramadhan berakhir. Namun, hendaklah dia melakukannya
apabila tidak ada udzur yang menghalanginya. Wallahu a’lam.
***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Murajaa: Ust Muhammad Abduh Tausikal